kekavigi.xyz

UN, SNMPTN, dan Selanjutnya?

Tanpa deskripsi.

Ditulis tanggal oleh A. Keyka Vigiliant. Revisi terakhir pada tanggal . Konten diterbitkan dibawah lisensi CC BY-SA 4.0.


Setelah tidak aktif sebulan, tidak menepati janji yang disebutkan dalam post sebelumnya (ya, sepertinya saya tidak dapat menepatinya lagi, efek pikun), saya kembali menulis di WordPress ini. Saya rasa hal utama yang menghambat saya menulis adalah:

Ketiga hal ini, membuat semangat saya menulis di WordPress hilang. Begitu pula semangat saya melakukan riset matematika dalam bidang attraktor, topologi, dan beberapa hal terkait itu. Jadi, yang saya lakukan selama ini hanyalah… tidur (saya bahkan tidak ada niatan bermain diep.io. Di masa-masa suram itu, grup SBMPTN semakin aktif. Ya, saya benar benar gila. Saya benar benar berharap saya masuk SNMPTN, karena hampir tidak ada niatan mempersiapkan diri kembali menghadapi SBMPTN.

Keadaan psikologis saya juga tidak baik, tentu saja bukan karena soal UN Fisika yang memang selevel soal SBMPTN. Bahkan saya tidak berniat mengerjakan soal KTOM April, yang saya-saat-biasanya-bahagia akan menganggap soal itu tantangan yang menarik diselesaikan.

Jadi, singkat kata: saya merasa gagal setelah UN terjadi, dan mengharapkan mukjizat.

Apanya Mukjizat?

Malangnya, saya bodoh. Saya hanya berimajinasi kehidupan menjadi lebih baik jika saya diterima di SNMPTN (mungkin ini efek dari stress). Ya, hanya berimajinasi, hampir tidak ada berdoa. Saya merasa saat saya benar benar berdoa kepada Tuhan (atau minta Bunda Maria mendoakan saya) hanya ketika saya berada di gereja, pas pada saat Doa Umat, dan setelah penerimaan Komuni. Menyedihkan bukan, saya bahkan tidak ada berdoa sebelum tidur, maupun ketika bangun tidur. Terkadang saya malu dengan anak kecil di buku cerita yang tergambar sedang berdoa.

Saya pribadi merasa keadaan psikologis saya (lihat bagian intro) menjadi lebih baik beberapa hari sebelum pengumuman SNMPTN, ditandain oleh niatan saya membaca artikel matematika kembali. Yah, bukannya untuk belajar SBMPTN, malah untuk belajar ilmu yang maha tinggi (atau maha dalam?). Setidaknya imajinasi saya menjadi rasional (dipenuhi angka angka, statistik, dan rumus) kembali.

SNMPTN.

Yah, sehari sebelum pengumuman, saya masih menjadi orang yang… tidak punya harapan hidup. Begitu pula pagi hari sebelum pengumuman. Banyak keramaian yang terjadi, rasa cemas, ribut-ribut di grup LINE saya, tetapi saya tidak peduli. Mungkin karena saya gila?

Dua jam sebelum pengumuman, saya mulai sangat ketakutan. Tiba tiba saya sadar pengumuman ini sangat penting, dan bahwa saya orang yang hampir tidak pernah berdoa (dengan kata lain, saya baru sadar doa itu sangat sangat penting). Namun, saya tidak biasa berdoa di tempat umum, jadi, saya baru berdoa setelah saya dan adik saya diantar pulang dari cafe(?) tempat ibuku berkerja.

Sesampainya dirumah, saya pun tidak lekas berdoa, tetapi menunggu keadaan tenang. Sekitar 45 menit sebelum pengumuman, saya baru berdoa. Memang, jika dipikir objektif, hasil sudah ditentukan jauh sebelum itu, tetapi apa salahnya? Saya sebagai seorang pikun yang pintar sekaligus gila punya definisi yang berbeda tentang waktu. Saya tidak terlalu hafal Doa Rosario (bahkan saya tidak tahu jenis peristiwa apa untuk hari Kamis ini), jadi saya mencarinya di internet. Gila bukan? Dan jika anda pernah melihat video seorang majikan memukuli pembantu, si pembantu terus menerus meminta ampun sambil menangis, ya, kurang lebih keadaan saya seperti itu. Saya pun berjanji akan menjadi lebih baik. Saya tidak sanggup jika saya gagal SNMPTN ini. Et cetera, semua saya lampiaskan.

Yah. 2 menit sebelum pengumuman, saya baru selesai.

Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.

Saya menjadi tenang dan ikut menulis angka hitung mundur:

10

5

3

2

1

Saya memasukkan angka pendaftaran dan tanggal lahir saya… dan kotak hijau keluar: saya diterima di FMIPA ITB. Saya menjadi sangat takut, sekaligus senang. Apa yang terjadi berikutnya, adalah menanggapi euforia SNMPTN. Namun saya tidak bisa merasa senang, atau sedih. Campur aduk. Ada perasaan bersyukur dapat diterima, tetapi ada rasa kecewa melihat para dewa1 ditolak. Ada perasaan sombong, tetapi cuma beberapa detik bertahan, mengingat janjiku pada Tuhan untuk berubah menjadi baik.2 Keadaan yang aneh. Mengingat keadaan saya yang sedang pusing, saya memutuskan tidur, setelah mandi sore hari. Bangun tengah malam, dan bertanya-tanya “apakah ini mimpi?”. Setelah membaca chatting di grup LINE dan mendengarkan lagu-lagu, saya melanjutkan tidur sampai pagi.

Bukan THE END. Selanjutnya Bagaimana?

Selain mencoba menepati janjiku pada Tuhan, saya saat ini masih bingung. ITB cukup sulit. Banyak hal yang perlu dibawa berdasarkan aturan pendaftaran mahasiswa baru. Juga apa yang harus saya lakukan disana. Terlalu banyak variabel yang perlu diperhatikan dan dikalkulasi. Jadi, saat ini itulah yang saya lakukan, dan saya akan mengabarkan apa terjadi di WordPress ini. siapa tau ada yang ingin melanjutkan jejak saya (namun jangan melakukan apa yang saya lakukan. Saya memang gila).

Tambahan…

Sampai saat ini, belum ada data jelas berapa banyak yang diterima di SNMPTN. Namun melansir berita Kompas jumlah pendaftar SNMPTN tahun ini hanya 517.418 siswa, turun dari tahun lalu yang sebanyak 852.093 siswa. Saat ini, setidaknya ada empat orang termasuk saya yang di terima di ITB, tetapi tentu saja, saya tidak hafal nama mereka kecuali Rafita, yang saya kenal dari sesama grup olim matematika. Saya akan mencari tahu (jika sempat) siapa yang yang diterima lewat SNMPTN. Agenda saya saat ini, adalah melengkapi berkas berkas yang diperlukan untuk pendaftaran di ITB. Dan, jika sempat, saya akan memperdalam (dari prioritas): TPA, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Sunda, Kimia, Fisika, Matematika. Tentu saja, agar ketika kuliah, saya tidak bodoh. Lagipula, saya “menanggung nyawa lima adik kelas saya”.

Catatan kaki

  1. Siswa-siswa dengan kemampuan akademik (dan juga sosial) yang jauh lebih mumpuni daripada saya. 

  2. Yah, saya sebenarnya juga tidak ingat kapan terakhir saya sadar merasa sombong