kekavigi.xyz

Berlubang Karena Lupa: Astramatika

Cerita tentang lomba Astramatika yang saya ikuti.

Ditulis tanggal oleh A. Keyka Vigiliant. Revisi terakhir pada tanggal . Konten diterbitkan dibawah lisensi CC BY-SA 4.0.


Yeay, saya muncul lagi, setelah lama tidak bersua.

Apakah ini efek dari countdown menuju UN di pinggir lapangan sudah berangka 53? atau dari semakin banyaknya ujian praktek? berbagai PR? ulangan?1 atau kejadian-kejadian yang menguras batin dan fisik?2 mungkin karena kegiatan bakti sosial yang akan diadakan besok, tetapi mungkin saya tidak bisa ikut? bingung sebab Alkitab-hijau-itu hilang, lupa di taruh dimana? riset yang terabaikan? kondisi Internet, sosio-politik negara, dan suasana sekolah yang memburuk? la la la, na na na? Ya, itu semua menjadi domino effect yang melelahkan batin untuk mencurahkan pikiran di WordPress ini.

Setelah memasang sebuah aplikasi pencatat waktu, saya melihat hanya 27% waktu saya digunakan untuk belajar (untungnya waktu “Gak Berguna” hanya 16%, walau sayangnya waktu “Tidur” menempati posisi pertama dengan persentase 32%). Kenapa hal ini bisa terjadi, bisa jadi berhubungan erat dengan apa yang saya alami beberapa puluh jam yang lalu: Astramatika ke-24.

Jika anda pernah membaca buku BSE Sejarah, anda sudah diperingatkan. Gaya penulisan dibawah mengikuti format buku tersebut: loncat-loncat dan malangnya, banyak penjelasan yang berlubang.

Masa Persiapan

Astramatika adalah lomba matematika yang, selama empat tahun terakhir (kalau tidak salah dengar) sudah menjadi tradisi sekolah saya untuk membawa pulang piala bergilir. Secara kronologis – maksudnya secara singkatnya3 – semua dimulai dari tahun 2016 disaat saya diikutkan seorang guru saya untuk ikut lomba ini. Namun pada saat itu rasanya saya tidak bisa ikut, jadi saya di-kick dari grup LINE. Sekitar sebulan yang lalu, orang tua membolehkan saya ikut, yang berujung kembalinya saya di grup LINE, yeay!. Sejak saat itu, ada banyak pengajaran, latihan, latihan, et cetera yang dilewati (yah… walaupun saya malas ngerjain semuanya), sampai pada siang sebelum keberangkatan kami ke Samarinda.

Heh? Berangkat? Iya, lombanya di Samarinda. Baik, beberapa hari setelah saya di-invite ke grup, akhirnya ada 18 orang yang ikut, terbagi dalam enam tim. Kelompok ini diatur sedemikian rupa (mungkin menggunakan program linear, statistika, apalah) sehingga setidaknya 3 tim ‘pasti’ lolos ke babak semifinal. Sekitar dua minggu (dan semalam sebelum berangkat) seorang guru (yang lain) memberikan penjelasan tentang apa saja yang menjadi pertimbangan dan persiapan. dari “Nginap atau berangkat subuh?”, “Uang proposal di bulan Februari”, “Nama ngga boleh salah”, “Siapkan perlengkapan tulis, foto 3x4 sebanyak tiga lembar” dan seterusnya. Yah, saya melakukannya dengan baik. Tentang dana, seorang guru saya yang membiayai, dari penginapan di Guest House Mahony sampai makan nasi goreng ayam plus es teh.

Bagaimana suasana belajarnya? Menurut saya, normal normal aja, sebagian besar niat, ada yang malas, ada yang yakin dalam batin bahwa dirinya mampu (mungkin saking yakinnya, ngga ngerjain soal). Santai saja. Yah, mungkin karena terlalu santai, ada beberapa anak yang kena ‘semprot’, dari tingkah lakunya (“perbaiki adabnya sensor nama”) sampai ketawa ketika yang lain fokus dengarin penjelasan guru (“tolong didengarkan ya sensor nama). Biasa aja sih. Yah, setidaknya saya jatuh cinta dengan cara berpikir seorang anak kelas 10. Caranya mengerjakan soal

1sin(x)dx\int \frac{1}{sin(x)} \text{d}x

sangat menarik. “Selamat terintimidasi” kata guru. Namun saya tidak terintimidasi, saya jatuh cinta. Butuh seperempat jam untuk mengubah pola pikir yang ia pakai menjadi pola berpikir diri sendiri, dan saya menyadari, pola pikirnya ternyata sederhana. Tentu saja, jika dipikir secara objektif, cara berpikirnya tidak benar secara absolut. Ia menggunakan *reverse engineering** atau apalah itu. Intinya, ia menemukan sebuah jawaban, dan mengubah jawaban itu menjadi bentuk soal, bukan kebalikannya. Memang ekstrem, dan dapat berujung pada kesimpulan yang salah, misalnya pada pemikiran

limxax2+bx+c=b2a\lim_{x\to\infty} \sqrt{ax^2 + bx + c} = \frac{b}{2\sqrt{a}}

karena bentuk

limxax2+bx+cax2+px+q\lim_{x\to\infty} \sqrt{ax^2 + bx + c} - \sqrt{ax^2 + px + q}

memiliki penyelesaian bp2a\frac{b-p}{2\sqrt{a}}. Namun saya tetap kagum dengan nalar dan intuisinya dalam menarik hubungan matematis (walaupun salah, itu bisa diatur).

Samarinda

Pada pagi hari sebelum kami berangkat, saya baru sadar bahwa gerbang SMA di kunci, maka saya pergi bertemu dengan Rafael di sebuah tempat makan yang terletak tidak jauh dari sekolah. Selanjutnya setelah guru kami mengatakan gerbang belakang SMA dibuka, kami langsung ke sana. Namun saya secara tidak sengaja meninggalkan plastik berisi makanan di tempat makan itu. Untungnya ketemu. Siangnya, kami menyempatkan diri berfoto bersama. Saya dan Thomas berangkat pakai mobil Bu Wiwik, guru Kimia kelasku (juga ada anaknya, tapi lupa namanya siapa). Selama perjalanan yang menegangkan (saya jarang naik kendaraan yang berani nyalip kendaraan yang lagi mau nyalip kendaraan lain, seakaan tidak takut dengan kemungkinan berciuman berkecepatan tinggi dengan kendaraan arah berlawanan). Setidaknya asinan apel yang ditawarkan sangat enak.

Sesampainya kami di guest house, saya sadar beberapa sudah yang menunggu, sedangkan yang lain belum (kena jalan buntu, thanks to Google Maps). Saya sekamar dengan Thomas. Sesi makan malam berjalan menarik, karena beberapa anak bermain kartu, beberapa anak membawa kertas, beberapa anak ngerjakan soal kalkulus lewat HP, juga karena beberapa anak tidak memesan nasi goreng ayam dan es teh. Selanjutnya saya dan beberapa teman yang lain belajar, sedangkan yang lain tidur.

Keesokkan paginya, setelah bersiap siap, kami berangkat ke tempat lomba. Sepertinya, nasihat guru untuk tampil “Stay, Calm, but Killing” tidak dihiraukan. Kami bersikap santai, masuk, menunggu sampai jam 10.30 (banyak sambutan, tetapi karena suara yang bergema, tidak ada yang bermakna). Karena yakin bahwa Tuhan membantu, saya dapat mengerjakan banyak soal di sesi I, tidur di kursi ketika masa istirahat, lanjut mengerjakan di sesi II. Setelah sesi II selesai, saya meluapkannya dengan menerbangkan pesawat kertas ke tengah GOR.

Armada kami di Samarinda.
"Armada kami di Samarinda.."

Perjalanan pulang berjalan sama dramatisnya dengan saat berangkat, yang membedakannya adalah fakta bahwa: itu malam hari. Saya dijemput oleh Ayah di DOME, yang selanjutnya mengantar saya ke tempat Bu Rita yang sedang mengadakan… lupa, hehe. Namun itu sesuatu tentang “misa peringatan arwah”.

Akhir kata

Sesuai dengan judulnya, sebenarnya banyak hal yang lupa ditulis disini, meninggalkan lubang-lubang yang membuat bingung. Namun tentu saja, untuk apa memperdulikan detail itu, toh sudah tersimpan dalam bentuk foto dan video di Google Photo 😏. Lalu, apa yang dapat dimaknai selama dua hari + banyak hari-hari persiapan ini? Secara klise, jawabannya adalah “Banyak”. Selama sesi latihan, sikap optimisme, daya tahan, kesabaran, kejujuran (ketika tes, maupun saat ngga bisa ngerjain), ketelitian, daya ingat, nalar, intuisi, dan kemampuan berpikir objektif dalam pengambilan kesimpulan. Hal sosial seperti kerja sama dalam pemecahan masalah, sopan santun, dan saling membantu juga patut diperhitungkan (yang dapat disimpulkan dalam kata “kekeluargaan”). dan lebih dari apa yang ditemui selama sesi latihan, selama lomba saya menyadari rasa takut, ketangkasan dan kepercayaan saya kepada Tuhan.

Sungguh, pengalaman yang menarik.

Catatan kaki

  1. Gaada ulangan selama semester terakhir ini, selama yang bisa kuingat. 

  2. ya… ujian praktek itu sih. 

  3. Tentu saja karena kapasitas ingatan di otak sudah berkurang secara eksponensial setelah melakukan enam kali hafalan Kimia tentang Turunan Hidrokarbon